SEMBILAN TAHUN BERLALU


 

Apakabar, Papa? Lihatlah ini. Foto ini menyimpan banyak sekali kenangan ya? Foto tentang salah satu fase hidup yang mengantarkanku pada fase lainnya, pada peristiwa demi peristiwa hingga hari ini.

Anak gadis dalam foto ini sedang menyimpan banyak sekali tanya tentang makna kehilangan dan mendapatkan, tentang kesakitan dan luka yang harus dia tutupi, tentang sebuah langkah yang seharusnya dia pertimbangkan berulang kali. Usianya baru 28 tahun, tapi sepertinya dia tidak pernah siap harus mengalami kehilangan yang lebih besar dari sekadar kebebasan. Dia masih ingin menjadi anak gadis sang papa dan menemaninya kemana-mana.

Foto ini juga merekam tawa lebar Papa yang terakhir. Sebab setelah hari itu, aku tak pernah lagi melihatnya. Sebab setelahnya, bahkan untuk tersenyum saja sulit. Satu hari setelah foto ini, Papa langsung ambruk dan sakit parah.

Sebelum hari di foto itu, setiap aku menemani Papa, sering sekali tiba-tiba Papa menepikan mobil karena kram atau sakit di dada. Tapi tidak pernah sekalipun mengijinkanku mengambil alih kemudi meski aku sudah punya SIM A. Papa cuma bilang “sakitnya sebentar, nanti kita jalan lagi”. Dan aku sama sekali tak terpikir, kenapa semakin sering begitu setiap kali menyetir. Kupikir Papa hanya kelelahan. Tak pernah sekalipun terlintas Papa disergap penyakit ganas.

Bahkan saat kami semua harus memaksa Papa untuk opname, Papa bersikeras mengatakan akan segera sembuh. Ah, Papa keras kepala bahkan saat sudah jelas-jelas dinyatakan sakit.

Papa tahu tidak, bagaimana perasaanku saat dokter di Rotinsulu memanggilku ke ruangannya dan mengatakan ada tumor di paru-paru Papa? Aku sendirian menunggui di rumah sakit ketika itu, saat mama harus pulang dulu ke Cibatu. Bahkan aku mengeluarkan banyak air mata sebelum menelepon mama tentang vonis dokter, kemudian berusaha terlihat baik-baik saja demi membuat Papa tidak kaget. Aku terpaksa sedikit berbohong saat Papa bertanya “kenapa dokter panggil kamu ke ruangannya, gak bilang langsung di sini sakit Papa apa?”
Dengan hati-hati kukatakan, penyakit Papa sedikit serius, ada tumor di paru-paru Papa, tapi bisa disembuhkan kok. Papa ingat? Papa langsung marah-marah, dan langsung menyuruhku memanggil dokter untuk meminta penjelasan sebenarnya. Papa tahu, anaknya tidak pernah ahli berbohong.

Setelah akhirnya tahu kanker stadium 4 sedang menguasai tubuh, segala kemungkinan kita coba. Bahkan kita putuskan terbang ke Singapura, dan mencari alternatif lain di Mount Elizabeth Hospital. Dokter di sana lebih terus terang dan terbuka. Sebelum bicara dengan dokter, seorang perawat mengajakku bicara tentang sakit papa. Dia menjelaskan stadium kanker 1-4, serta probabilitas waktu hidup papa. Ketika kembali ke tempat duduk tunggu dan papa menanyai apa yang kami bicarakan, lagi-lagi aku berbohong, mengatakan perawat menceritakan ibunya yang kena kanker dan sudah sembuh. Padahal sesungguhnya ibu perawat sudah meninggal, meski stadium kanker ibunya baru level 2. Dia memberitahuku agar aku siap mental dengan kemungkinan terburuk dan mengatakan untuk tetap berdoa berharap mukjizat Tuhan.

Memasuki ruangan dokter adalah hal terhoror saat itu. Kang Edward Andhi Susanto​ menemani pula proses selama di Mount Elizabeth itu. Jika tidak ada sang kakak, aku tak sanggup membayangkan bagaimana menghadapi paparan dokter sendirian di negara orang. Dokternya baik ya Papa, dia menerangkan dengan detail. Tapi di sanalah aku melihat semangat Papa menguap. Mata Papa meredup saat dokter menjawab pertanyaan “how many time do I have?”, dan dokter menjawab kemungkinan medis adalah 4-5 bulan bisa bertahan hidup.

Sesaat jam seperti berhenti berdetik. Ibarat adegan gerak pelan di film, mata Papa meredup dan senyum dalam foto ini tinggal bayangan abu-abu. Kutahan air mata sekuat yang aku bisa. Kukatakan pada Papa, kita akan usahakan yang terbaik untuk berobat, kita akan mendapat mukjizat. Dokter menyarankan kita pulang ya, Pa. Katanya biaya kemoterapi di Singapura dan Indonesia sama, yang membedakan adalah biaya hidup yang akan besar jika kita bersikukuh berobat di Singapura. Lagipula, kembali ke Indonesia kita lebih dekat dengan keluarga, dan masih ada kemungkinan untuk memperpanjang waktu hidup, katanya. Ah, andai saja saat itu aku menangkap jelas dokter berusaha menyampaikan isyarat bahwa Papa tak bisa bertahan lebih lama lagi.

Kembali ke Indonesia adalah ketakutan yang lain. Kita harus mengulang lagi hari panjang dan malam di rumah sakit. Serangkaian tes laboratorium yang dilakukan, selalu Papa minta diketahui aku. Aku sering kabur di jam kerja kantor untuk menemani setiap proses. Kadangkala menjagai di malam hari.

Papa ingat, suatu malam ketika kita terbaring di rumah sakit itu, Papa menyibakkan gorden yang memisahkan pasien dengan penunggunya? Aku tahu, Papa sedang mengintipku, diam-diam menatap punggung anak perempuannya. Saat aku berbalik dan memergoki, Papa sedang mengusap air mata. Aku pura-pura mengigau dan mengintip dari mata yang sedikit terbuka. Aku tidak pernah melihat Papa sesedih itu. Entah apa yang sedang ada dalam pikiran Papa. Ketika jejak air matanya tak ada, kubuka mataku penuh dan bertanya, “ih Papa kok bangun, ada yang mau diambilin? Kalau enggak, tidur lagi aja.”
Papa tahu, saat itu dadaku seperti ditusuk ribuan jarum. Memikirkan lagi perkataan dokter, melihat kondisi fisik Papa, melihat mata Papa yang tak lagi bersinar, sungguh mimpi terburuk yang pernah kualami. Setelah membetulkan selimut Papa dan memastikan Papa betul-betul memejamkan mata untuk tidur, aku kembali ke sofa tempatku berbaring. Gorden dibuka sedikit biar Papa bisa lihat aku, sesuai permintaan. Aku segera berbalik ke tembok dan menangis diam-diam. Kesedihan menguasaiku dengan sempurna malam itu.

Dan hari-hari setelahnya, duniaku tidak lagi sama. Aku tidak pernah betul-betul sanggup menahan air mata setiap akan menuliskan tentang Papa. Bahkan saat menulis ini, airmata itu leluasa meluncur lagi. Sekalipun Papa berpesan aku tidak boleh jadi anak cengeng, aku tak kuasa membendungnya. Tapi aku harus membuktikan semua pesan lainnya, kan Pa? Tetap mandiri dan jaga kesehatan. Semoga ya Pa, semoga aku bisa menjadi sosok kuat seperti Papa, tahan banting dalam segala persoalan.

Sudah dulu ya, Pa. Aku tak mau anakku bangun melihatku menangis. Aku harus tampil kuat di depannya kan? Seperti Papa juga yang malam itu menghapus air mata dan tak ingin aku melihatnya. Dan aku juga berdoa agar Mama diberi kesehatan dan umur panjang jauh melebihi usia Papa. Sebab kehilangan Papa saja rasa hancurnya begitu panjang.

Papa, salam rindu. Semoga Allah menyediakan tempat terbaik di sana.

21 September 2009-21 September 2018.

IMG_1461[1].JPG