DARI SEBUAH SUARA


Kau tahu apa yang paling kutakuti? Jika aku tak lagi bisa mengenali perasaan-perasaanku sendiri dan rindu yang harus selalu kulipat diam-diam untuk kemudian diselipkan di bawah bantal sampai tertidur, sampai terbawa mimpi. Kebimbangan demi kebimbangan yang seperti daun pohon petai cina yang rimbun, mungil dan menggemaskan.

Ada yang luput diperhitungkan. Mungkin karena aku terlalu sibuk mengeja tikungan hingga lupa bahwa mendengar suaramu saja dari ujung sana bisa menggoyahkan pendirianku.  

Kau tahu? Di sini, di dalam dada ini, aku gigil mengucapkan namamu. Betapa segalanya tak mudah. Menghilangkan jejak dirimu di alir darahku adalah pekerjaan paling berat yang harus kuperbuat. Seperti mengangkat pedang cukup tinggi, mengayunkannya ke leherku sendiri lalu menebasnya tanpa tedeng aling-aling.

Tolong katakan padaku, jika waktu tak bisa mempersatukan kehendak laut pada pasir pantai, kemana harus kularungkan segalanya? Aku mengemas tangis, menyibukkan diriku pada pusaran angka-angka dan setiap jadwal yang terencana. Jika kau harus tiada, ada bagian dari diriku yang tak pernah merasa rela. Namun bukankah hidup itu sebuah pilihan? Setangkup perasaan hanya akan bertahan untuk waktu yang tak lama. Ia akan tergerus waktu dan menggedor-gedor pikiran, mempertanyakan pilihan yang telah mengikat kaki dan hati kita. Tak kemana-mana. 

Angin musik kemarau menusuk jantungku seperti sebilah lempengan es. Di waktu lalu, suratmu sampai sepenuh rindu. Menerbangkan kabar dari Utara tentang kau yang ingin bertemu dan penantian adalah musuh paling sewenang-wenang. Ini musim yang sama. Suratmu diterbangkan angin entah kemana. Tapi kata-katamu melekat di dinding kamar. Suaramu, mengingatkan itu. Aku ingin menangis dan menghambur ke pelukanmu. Bertahan di sana selagi bisa. Selama yang aku bisa. Selama yang kau bisa. Selama yang kita bisa. Tapi apakah aku bisa mengukur kekuatanku sendiri untuk berpaling dan melipat apa yang seharusnya sejak dulu kita selesaikan? Tapi apakah kau bisa melepaskan ikatan-ikatan pada kaki dan hati kita? Apakah kita bisa? Apakah semesta masih ingin membuat kita berlama-lama, tak kemana-mana?

Suaramu. Ya, suaramu. Meruntuhkan kekuatanku.

#RAB, 06072015

#NulisRandom2015 hari #6


MENJARAKKAN JARAK

Melihat tulang mukamu bertambah tirus,

Kuharap waktu segera tergerus.

Mata sehangat matari itu seharusnya kembali berseri

Bukan, tak kosong seperti ini.

Ada kesepian yang disembunyikan dalam dadamu

Yang melesak kau benamkan dalam-dalam

Pengingkaran jadi caramu melarikan diri

Malam membenam kisah-kisah:

Duduk di sisimu, kutangkap gelisah

Pada waktu yang entah, kau luapkan

Penyesalan, keraguan, harapan, sekaligus doa

Berlarilah, sepanjang pasir pantai menghangatkan

Telapak kaki dan menentramkan!

Selama desau angin dan debur ombak melarungkan

Khawatirmu

Kita genapkan jarak jadi setangkup doa

Kita genapkan jarak jadi penanda

Kita genapkan jarak jadi jeda

Atau tuntaskan saja agar meniada.

#RAB, 6 Juni 2015

#NulisRandom2015 #harikeenam

SURAT (YANG SELALU KUTUJUKAN) UNTUKMU


cerpenqalby
dimuat di tabloid Qalby no 02/XXIV/8-14 September 2014

SURAT (YANG SELALU KUTUJUKAN) UNTUKMU
Oleh: Ratna Ayu Budhiarti

Lang, rambutku rontok. Aku tiba-tiba ingat papa. Dan kamu.
Malam ini bulan bulat sempurna. Apakah rindu seterang purnama di hatimu?
#RAB1206

Harusnya serangkaian kata ini kau baca dengan cermat, Lang. Betapa ingatanku tentang segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupanku selalu bermuara pada mata air yang sama. Sejauh dan sebanyak apapun percabangan sungai hatiku yang melayarkan rindu, sumbernya masih rasa yang itu-itu juga. Kehilanganmu sama beratnya seperti rasa kehilanganku terhadap papa, meskipun tentu rasa kehilanganmu lebih kecil dibanding kehilangan panutan dan teman diskusi sebaik papa. Tapi jalanku selalu limbung setelah siang yang terik memakan habis seluruh tenagaku di pojok ruangan tempatku membaca surelmu. Seakan bumi mengisap tuntas daya topang tubuhku hari itu. Seluruh tonggak kebanggaan yang selalu membuatku tegak dan percaya diri berjalan kau tebas dalam kecepatan yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Salahku, memercayakan sumbu hidupku padamu. Apa kau pernah memikirkan mengapa setiap aku berlari dan meneriakkan pertanyaan padamu, aku seperti menghadapi dinding gua yang dingin dan memantulkan suaraku? Selalu gigil menyerangku setiap namamu menjadi bisikan doa yang masih saja kerap kucakapkan secara rahasia dengan Ia, Sang Maha Sutradara.

Ah, tentu kau tak tahu itu semua, bukan? Barangkali juga tak peduli selautan apa air mataku menangisi kepergianmu yang tergesa dan tak menyisakan sebuah tanya pun untuk kau jawab. Tentu kau tak ingin tahu tahun-tahun mana saja yang tak tak memberiku kesempatan untuk bernapas dan menghindari doa-doa yang sebenarnya terlalu ngilu tapi tetap kupanjatkan diam-diam. Tak ada, Lang. Setiap tahun tak ada yang kulewatkan tanpa tetap mengharapkan kepulanganmu di rumah yang kita gambarkan, pulang ke setiap cita-cita yang kita buatkan daftarnya.
Sedangkan bagian lain dari diriku sepenuh sadar mengucapkan syukur atas setiap kebahagiaan yang kau raih. Tapi diriku yang lain tak pernah ingin berhenti menuliskan jumlah hari dalam tahun yang penuh surat-suratmu.

Ah ya, apakah kau masih ingat itu, Lang? Kau selalu mengirimiku kabar tentang apa saja, dengan nada yang seolah ingin berkata “betapa beruntungnya aku menemukan cinta dan perempuan sepertimu”. Sehingga aku selalu seperti pejalan yang merindukan air segar untuk diteguk setiap suratmu terselip di bawah pintu rumahku. Kau tahu, hari-hari menanti suratmu sampai kadang seperti membawaku berjalan di setapak penuh bunga-bunga yang indah. Tak ada lelaki yang pernah mengirimiku surat penuh kesan seperti itu, Lang. Dan aku akan dengan tekun mengabarkan hari-hariku menggeluti berbagai hal di kota dengan jarak berjam-jam dari kotamu.

Masih ingatkah kau pada suratmu yang lain ketika pekerjaan membawamu harus menetap di kota lain untuk beberapa lama, dan itu membuatmu sedikit sulit mencari waktu menemuiku? Lalu kau kisahkan tentang induk semangmu dan keluarganya yang baik hati, tentang panen mangga yang semanis pertemuan pertama kita, dan itu membuatku semakin ingin segera berada di sisimu.

Ah, barangkali kau sudah lupakan itu dan mengisi hari-harimu dengan sederet kesibukan dan tentu saja: ingatan tentangku tenggelam di pekat malam.

Ini sebuah isyarat.
Dan kau melulu menjelma tempat kemana rinduku mencari alamat.
Lang,bintang jatuh indah berbinar di bola matamu.
#RAB1206

Kau tahu aku selalu mengibaratkan kehadiranmu seperti bintang jatuh, Lang? Ilmuwan berkata, bintang jatuh selalu indah dan mengesankan. Kemunculannya yang sangat jarang menyebabkan ia dijadikan mitos tentang harapan yang semestinya diucapkan ketika ia datang. Bagiku seperti itu jugalah kamu, Lang. Dalam rentang waktu jutaan tahun cahaya, bahkan sejak inkarnasi pertama takdirku adalah menunggu bintang jatuhku. Dan kau hadir mengubah segalanya, menyodorkan banyak cahaya dari kedua telapak tanganmu ke hadapan mataku.

Malam ini terang bulan yang bulat sempurna memendarkan cahaya ke langit hatiku juga, Lang. Tentu saja rasa hangat masih memenuhi ruang di dadaku setiap sekelebat ingatan memanggil namamu dan peristiwa-peristiwa ketika kita sering melahirkan banyak tawa meskipun seserpih luka perih mengiris jantungku. Tak apa, Lang. Tak perlu kau kuatirkan itu. Bukankah jalan seperti ini yang telah kupilih? Mencintaimu dalam sunyi, menggenapi janji yang kita ikrarkan bersama, meskipun putaran waktu tak juga menyatakan pilihannya untuk berpihak pada kisah kita.

Langit terasa lengang, Lang. Sekumpulan bintang sepertinya memilih bersembunyi ke bilik-bilik puisi milik para penyair. Aku mengirimkan sekecup rindu lewat udara ke atas sana, berharap kau sedang memandang langit yang sama denganku. Terakhir kali kita bertemu, degup di jantungku masih berdetak kencang setiap pandanganku jatuh pada tulang rahangmu yang kokoh itu. Juga matamu. Detik itu, entah kenapa aku membaca rindu yang samar-samar kau kemas dan sembunyikan dalam-dalam. Aku tak perlu bertanya alasannya, bukan? Gelombang kita masih berada di alur yang sama. Simbol-simbol yang dipantulkan ke udara selalu mampu kita baca, meski kau dan aku tak saling bersapa. Demi kita, demi semesta, dan orang-orang yang juga mencintai kita.

Elang, apa kabarmu? Aku masih memenuhi janjiku untuk selalu menyuratimu.
***
2014

CINTA BASI


 

CINTA BASI

 

pada pagi gerimis, kujumpai wajahmu serupa embun

walau mata elangmu kerap mengiris hatiku,

rindu yang dipupuk dedaun asa terkubur ribuan alasan

untuk tak disampaikan angin, atau oleh rumput yang sedang enggan bergoyang

 

kekasih, berkali aku menyerukan hati,

berkali pula langit hatiku hanya bisa menangis:

kepergianmu seperti jelangkung

-datang tak dijemput, pulang tak diantar-

sebab rasa yang kau sodorkan di piring kudapan sore itu

mungkin sekedar tester untukku atau sisa cinta basi

yang tak sengaja kau pergoki hasratku untuk melumatnya.

 

Denpasar, 20022012: 12.39 WITA