dimuat di tabloid Qalby no 02/XXIV/8-14 September 2014
SURAT (YANG SELALU KUTUJUKAN) UNTUKMU
Oleh: Ratna Ayu Budhiarti
Lang, rambutku rontok. Aku tiba-tiba ingat papa. Dan kamu.
Malam ini bulan bulat sempurna. Apakah rindu seterang purnama di hatimu?
#RAB1206
Harusnya serangkaian kata ini kau baca dengan cermat, Lang. Betapa ingatanku tentang segala peristiwa yang terjadi dalam kehidupanku selalu bermuara pada mata air yang sama. Sejauh dan sebanyak apapun percabangan sungai hatiku yang melayarkan rindu, sumbernya masih rasa yang itu-itu juga. Kehilanganmu sama beratnya seperti rasa kehilanganku terhadap papa, meskipun tentu rasa kehilanganmu lebih kecil dibanding kehilangan panutan dan teman diskusi sebaik papa. Tapi jalanku selalu limbung setelah siang yang terik memakan habis seluruh tenagaku di pojok ruangan tempatku membaca surelmu. Seakan bumi mengisap tuntas daya topang tubuhku hari itu. Seluruh tonggak kebanggaan yang selalu membuatku tegak dan percaya diri berjalan kau tebas dalam kecepatan yang tak pernah kuperkirakan sebelumnya. Salahku, memercayakan sumbu hidupku padamu. Apa kau pernah memikirkan mengapa setiap aku berlari dan meneriakkan pertanyaan padamu, aku seperti menghadapi dinding gua yang dingin dan memantulkan suaraku? Selalu gigil menyerangku setiap namamu menjadi bisikan doa yang masih saja kerap kucakapkan secara rahasia dengan Ia, Sang Maha Sutradara.
Ah, tentu kau tak tahu itu semua, bukan? Barangkali juga tak peduli selautan apa air mataku menangisi kepergianmu yang tergesa dan tak menyisakan sebuah tanya pun untuk kau jawab. Tentu kau tak ingin tahu tahun-tahun mana saja yang tak tak memberiku kesempatan untuk bernapas dan menghindari doa-doa yang sebenarnya terlalu ngilu tapi tetap kupanjatkan diam-diam. Tak ada, Lang. Setiap tahun tak ada yang kulewatkan tanpa tetap mengharapkan kepulanganmu di rumah yang kita gambarkan, pulang ke setiap cita-cita yang kita buatkan daftarnya.
Sedangkan bagian lain dari diriku sepenuh sadar mengucapkan syukur atas setiap kebahagiaan yang kau raih. Tapi diriku yang lain tak pernah ingin berhenti menuliskan jumlah hari dalam tahun yang penuh surat-suratmu.
Ah ya, apakah kau masih ingat itu, Lang? Kau selalu mengirimiku kabar tentang apa saja, dengan nada yang seolah ingin berkata “betapa beruntungnya aku menemukan cinta dan perempuan sepertimu”. Sehingga aku selalu seperti pejalan yang merindukan air segar untuk diteguk setiap suratmu terselip di bawah pintu rumahku. Kau tahu, hari-hari menanti suratmu sampai kadang seperti membawaku berjalan di setapak penuh bunga-bunga yang indah. Tak ada lelaki yang pernah mengirimiku surat penuh kesan seperti itu, Lang. Dan aku akan dengan tekun mengabarkan hari-hariku menggeluti berbagai hal di kota dengan jarak berjam-jam dari kotamu.
Masih ingatkah kau pada suratmu yang lain ketika pekerjaan membawamu harus menetap di kota lain untuk beberapa lama, dan itu membuatmu sedikit sulit mencari waktu menemuiku? Lalu kau kisahkan tentang induk semangmu dan keluarganya yang baik hati, tentang panen mangga yang semanis pertemuan pertama kita, dan itu membuatku semakin ingin segera berada di sisimu.
Ah, barangkali kau sudah lupakan itu dan mengisi hari-harimu dengan sederet kesibukan dan tentu saja: ingatan tentangku tenggelam di pekat malam.
Ini sebuah isyarat.
Dan kau melulu menjelma tempat kemana rinduku mencari alamat.
Lang,bintang jatuh indah berbinar di bola matamu.
#RAB1206
Kau tahu aku selalu mengibaratkan kehadiranmu seperti bintang jatuh, Lang? Ilmuwan berkata, bintang jatuh selalu indah dan mengesankan. Kemunculannya yang sangat jarang menyebabkan ia dijadikan mitos tentang harapan yang semestinya diucapkan ketika ia datang. Bagiku seperti itu jugalah kamu, Lang. Dalam rentang waktu jutaan tahun cahaya, bahkan sejak inkarnasi pertama takdirku adalah menunggu bintang jatuhku. Dan kau hadir mengubah segalanya, menyodorkan banyak cahaya dari kedua telapak tanganmu ke hadapan mataku.
Malam ini terang bulan yang bulat sempurna memendarkan cahaya ke langit hatiku juga, Lang. Tentu saja rasa hangat masih memenuhi ruang di dadaku setiap sekelebat ingatan memanggil namamu dan peristiwa-peristiwa ketika kita sering melahirkan banyak tawa meskipun seserpih luka perih mengiris jantungku. Tak apa, Lang. Tak perlu kau kuatirkan itu. Bukankah jalan seperti ini yang telah kupilih? Mencintaimu dalam sunyi, menggenapi janji yang kita ikrarkan bersama, meskipun putaran waktu tak juga menyatakan pilihannya untuk berpihak pada kisah kita.
Langit terasa lengang, Lang. Sekumpulan bintang sepertinya memilih bersembunyi ke bilik-bilik puisi milik para penyair. Aku mengirimkan sekecup rindu lewat udara ke atas sana, berharap kau sedang memandang langit yang sama denganku. Terakhir kali kita bertemu, degup di jantungku masih berdetak kencang setiap pandanganku jatuh pada tulang rahangmu yang kokoh itu. Juga matamu. Detik itu, entah kenapa aku membaca rindu yang samar-samar kau kemas dan sembunyikan dalam-dalam. Aku tak perlu bertanya alasannya, bukan? Gelombang kita masih berada di alur yang sama. Simbol-simbol yang dipantulkan ke udara selalu mampu kita baca, meski kau dan aku tak saling bersapa. Demi kita, demi semesta, dan orang-orang yang juga mencintai kita.
Elang, apa kabarmu? Aku masih memenuhi janjiku untuk selalu menyuratimu.
***
2014